Oh, Ini Alasan Ketua BEM UI Acungkan Kartu Kuning ke Jokowi
Infokyai.com - Beredarnya viral video Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Zaadit Taqwa mengacungkan kartu kuning kepada Jokowi, membuat geger warganet. Pasalnya yang diberikan kartu kuning tersebut ialah orang nomor 1 di Indonesia.
Terkait hal itu, Ketua BEM UI membeberkan alasannya mengacungkan kartu kuning untuk Presiden Joko Widodo. Apa saja?
Alasannya karena ia kecewa dengan ketidakmampuan Jokowi menanggulangi tiga isu. Ketiga isu tersebut terkait dengan problematika gizi buruk yang menimpa anak-anak Suku Asmat, isu Penjabat Gubernur dari Polri dan Permenristekdikti tekait dengan Organisasi Mahasiswa. (Kumparan.com).
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Universitas Indonesia (PMII-UI) mengecam keras aksi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI Zaadit Taqwa yang mengacungkan kartu kuning ke arah Presiden Jokowi dalam Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia, di Balairung UI, Depok, Jumat (2/2/2018).
Ketua PMII UI Ahmad Luthfi mengatakan, aksi Zaadit sangat memalukan dan menjatuhkan martabat UI. "Aksinya itu kami rasakan telah menjatuhkan kehormatan UI. Selain itu apa yang dia (Zaadit) lakukan, juga telah menggadaikan marwahnya sebagai Ketua BEM UI," kata Luthfi Jumat (2/2/2018) dikutip dari wartakota.tribunnews.com.
Menurut Luthfi, banyak kelompok dan organisasi mahasiswa di UI yang tidak sepakat dengan BEM UI dan menolak serta mengecam aksi Ketua BEM UI kepada Presiden Jokowi dalam acara Dies Natalis UI, Jumat pagi tadi. Bahkan kata Luthfi, apa yang dilakukan Ketua BEM UI tersebut terindikasi kuat adalah pesanan dari kelompok tertentu yang selama ini mendiskreditkan kepemimpinan Jokowi.
Sebelumnya dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo meminta Universitas Indonesia (UI) untuk terus memperbaiki kurikulum dan agenda riset.
1. Terkait Organisasi Mahasiswa. Sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia menolak rencana Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang hendak mengeluarkan peraturan menteri tentang organisasi kemahasiswaan. Draft aturan baru itu dinilai mengancam kebebasan berorganisasi dan gerakan kritis mahasiswa.
“Menyebabkan intervensi dari penyelenggara kampus semakin besar,” kata Koordinator Isu Pendidikan Tinggi BEM Seluruh Indonesia, Alfath Bagus Panuntun, kepada Tempo, Jumat, 22 Desember 2017.
Kementerian Riset memang sedang menyiapkan aturan tentang organisasi kemahasiswaan. Draf peraturan sudah selesai disusun. Tim penyusun juga telah mengundang 30 perwakilan BEM seluruh Indonesia untuk memberi masukan terhadap draf tersebut pada 14 dan 15 Desember lalu di Bekasi, Jawa Barat. Hasilnya, para perwakilan BEM menyatakan menolaknya.
Alfath menilai tak ada hal genting yang menyebabkan perlunya aturan baru tentang organisasi kemahasiswaan. Apalagi organisasi kemahasiswaan sebenarnya telah diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 155 Tahun 1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Aturan lama ini memberi ruang yang luas kepada mahasiswa untuk berkegiatan. Di sana dinyatakan bahwa kegiatan kemahasiswaan diselenggarakan dengan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa. “Itu justru dihilangkan dalam peraturan baru tersebut,” kata dia.
Peraturan itu juga hanya mengakui organisasi lintas perguruan tinggi yang berdasarkan bidang keilmuan atau peminatan sejenis. Akibatnya, organisasi non-keilmuan seperti aliansi BEM Seluruh Indonesia harus dibubarkan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Ainun Na'im, membantah peraturan menteri tersebut bertujuan membungkam kebebasan berorganisasi mahasiswa. “Kami bisa diskusikan kalau ada pandangan-pandangan yang menurut mereka membatasi,” ujarnya, Jumat, 22 Desember 2017.
Ketua Tim Kelompok Kerja Peraturan Menteri tentang Organisasi Kemahasiswaan, Arman Nefi, mengatakan peraturan baru itu dibentuk karena Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 155 Tahun 1998 dianggap sudah tidak relevan. Penyebabnya, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Riset sekarang merupakan dua kementerian terpisah. Meski begitu, masukan dari BEM akan diterima sebagai bahan untuk menyempurnakan draf aturan itu. “Kami berpikir juga bagaimana BEM ini tetap eksis,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat, Ferdiansyah, meminta Kementerian Riset tidak gegabah dan membuat aturan yang justru membelenggu kebebasan mahasiswa untuk berorganisasi. Ia meminta Kementerian mendengar masukan dari mahasiswa dan masyarakat. “Kalau mengekang, sebaiknya jangan,” kata dia.
2. Permasalahan gizi buruk memang seperti fenomena gunung es karena jumlah balita (anak usia di bawah lima tahun) yang mengalami gizi buruk lebih dari asumsi yang sudah diperkirakan berbagai pihak. Problem ini sejak tahun 2008 telah mencuat di era SBY.
Yang terbaru di Kabupaten Asmat, pemerintah daerah dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, TNI, Sekretariat Kepresidenan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kepolisian, sudah melakukan operasi bersama.
Presiden Joko Widodo bahkan sudah mengumpulkan para kepala daerah di Provinsi Papua dan sejumlah menteri terkait untuk membahas soal wabah campak dan gizi buruk yang melanda Kabupaten Asmat dan Nduga, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa malam, 23 Januari 2018.
Ada tiga upaya yang telah dilakukan, yaitu mengobati campak dan gizi buruk, melakukan vaksinasi pada anak-anak usia 0-14 tahun, dan menyiapkan rencana pasca penanganan persoalan tersebut seperti pendampingan dan pembinaan para pasien. "Sampai hari ini komitmen pemerintah pusat dan daerah sudah kami kerja berbarengan dan harus diselesaikan," kata Elisa.
3. Dalam masalah Isu dari unsur Perwira Polri, Presiden Joko Widodo belum mau berbicara banyak soal polemik yang diusulkan menjadi penjabat Gubernur. Jokowi beralasan, surat dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo terkait usulan tersebut belum ia terima.
"Karena banyak yang berprasangka dulu, suudzon dulu, padahal belum tentu suratnya sampai ke saya," tambah Jokowi.
Meski tak mau berkomentar banyak, namun Jokowi sempat mengungkapkan keheranannya mengenai respons publik.
Ia mempertanyakan kenapa masyarakat baru ramai menyampaikan kritik sekarang. Padahal, kata Jokowi, pada tahun-tahun sebelumnya juga ada perwira Polri yang ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur.
"Yang dulu-dulu enggak ada masalah, dulu banyak loh, yang dari TNI ada, Polri ada, biasa saja. Kenapa sekarang ramai? Itu saja pertanyaan saya," kata Jokowi.
Mendagri sebelumnya beralasan, penunjukan jenderal aktif dari perwira Polri di dua daerah karena wilayah Sumatera Utara dan Jawa Barat memiliki potensi kerawanan jelang pilkada. Selebihnya belum. Hal itu masih belum diterima di meja kerja Presiden.(*)
Berita ini sebelumnya diterbitkan di indowordnews.com dengan judul 'Oh... Ini Alasan Ketua BEM Kuning UI Acungkan Kartu Kuning ke Jokowi. Simpel ini dia!!!'
0 Komentar